Lampu Marhaban Ya Ramadhan
TSYpGUCpTSC0BSAiGUO8TSY9Td==

Hadits Arbain ke-5: Hadits Tentang Perkara Bid’ah bagi Umat Islam

Hadits Arbain ke-5 Guru madrasah.com - Hadits Arbain Ke 5 – Hadits Tentang Bid’ah merupakan hadits dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah (الأربعون النووية) atau kitab Hadits Arbain Nawawi Karya Imam Nawawi rahimahullahu ta’ala.

Hadits Arbain ke-5: Hadits Tentang Perkara Bid’ah bagi Umat Islam
Hadits Arbain ke-5

Guru
madrasah.com - Hadits Arbain Ke 5 – Hadits Tentang Bid’ah merupakan hadits dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah (الأربعون النووية) atau kitab Hadits Arbain Nawawi Karya Imam Nawawi rahimahullahu ta’ala.

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ  رَدٌّ.   [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]

“Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha dia berkata: Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan bagian darinya, maka dia tertolak.” (Riwayat Bukhari dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: “Siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka dia tertolak.”

Hadits ini adalah hadits yang kelima dari rangkaian 42 hadits Al-Arba’in An-Nawawiyah (الأربعون النووية). Hadits ini diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Semua istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah ibunda kita.

وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

“dan istri-istri beliau adalah ibunda bagi mereka orang-orang yang beriman.”

Kunyah beliau adalah Ummu Abdillah. Beliau adalah putri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu. Jadi putrinya Sahabat, ayahandanya juga Sahabat. Putrinya adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari kalangan wanita sementara ayahandanya adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari kalangan pria.

Beliau dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada tahun ke 2 Hijriyah saat usianya masih sangat belia. Dan ada hikmah besar dibalik pernikahan beliau dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat usia beliau masih sangat muda. Yaitu beliau punya usia yang panjang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian juga usia yang panjang untuk menyampaikan ilmu yang telah beliau serap dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga Al-Hakim Rahimahullahu Ta’ala mengatakan bahwasanya seperempat ilmu agama Islam atau hukum agama Islam ini diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. 

Disebutkan bahwasanya beliau meriwayatkan lebih dari 2.200 hadits. Dan ini menunjukkan peran kaum wanita dalam mendakwahkan Islam ini. Mereka punya jasa yang besar, mereka punya peran yang konkrit dan sangat berarti untuk dakwah Islam. Dan diriwayatkan bahwasannya para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang lain banyak merujuk kepada beliau, banyak bertanya kepada beliau. Dan kalau mereka merujuk kepada beliau, maka mereka mendapatkan jawabannya pada beliau karena ilmu beliau yang sangat dalam. Dan beliau meninggal pada tahun 58 Hijriyah.

Dalam hadits ini ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha meriwayatkan bahwasannya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang menciptakan dalam perkara kami ini apa-apa yang bukan merupakan bagian darinya, maka hal tersebut ditolak.”

Ini adalah sebuah hadits yang agung, dan dihadits yang pertama dahulu kita sudah sebutkan bahwasannya Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullahu Ta’ala mengatakan bahwasanya pokok ajaran Islam itu terbangun diatas tiga hadits; Pertama, hadits Innamal A’malu Binniat. Hadits Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu yang merupakan hadits pertama dalam Arbain Nawawi. Kedua, hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ini yang merupakan hadits ke-5 dalam Arbain Nawawi. Sedangkan yang ketiga adalah hadits An-Nu’man bin Basyir:

حَلَالٌ بَيِّنٌ وَحَرَامٌ بَيِّنٌ وَشُبُهَاتٌ بَيْنَ ذَلِكَ مَنْ تَرَكَ الشُّبُهَاتِ فَهُوَ لِلْحَرَامِ أَتْرَكُ وَمَحَارِمُ اللَّهِ حِمًى فَمَنْ أَرْتَعَ حَوْلَ الْحِمَى كَانَ قَمِنًا أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ

“Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas, sedangkan syubhat berada diantara keduanya. Barangsiapa meninggalkan syubhat, berarti terhadap yang haram ia akan lebih menjauh. Dan hal-hal yg diharamkan Allah adalah daerah terlarang, maka siapa yang mengembalakan ternak di sekitar daerah terlarang, sangat mungkin ia akan memasukinya.” (HR. Ahmad)

Dan hadits An-Nu’man bin Basyir ini adalah hadits yang ke-6. Insyaallah kita akan bahas pada pertemuan selanjutnya.

Kata Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullahu Ta’ala, pokok-pokok ajaran Islam terbangun diatas tiga perkara ini. Sebagian ulama yang menyebutkan bahwasannya hadits Umar bin Khattab, Innamal A’malu Binniyat adalah timbangan amalan-amalan batin. Itu adalah parameter untuk amalan-amalan hati. Sedangkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ini adalah timbangan untuk amalan-amalan yang lahir.

Bagaimana kita menilainya? Kalau dia baik maka dia tentu sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan kalau dia buruk, maka parameternya adalah dia dilakukan dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Hadits Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu Innamal A’malu Binniyat, kembalinya kepada syahadat Laa Ilaaha Illallah. Sedangkan hadits ‘Aisyah ini, dia kembali kepada syahadat yang kedua. Persaksian kita bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.

Jadi, kandungan dua hadits ini kembali kepada dua syahadat yang merupakan gerbang kita masuk ke dalam Islam. Syahadat yang pertama mempunyai konsekuensi bahwa kita tidak boleh memberikan Ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita tidak boleh beribadah kecuali hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara hadits yang kedua, yakni hadits ‘Aisyah yang sekarang kita akan membahasnya ini, dia kembali kepada syahadat yang kedua. Konsekuensinya adalah kita mengimani apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengerjakan apa yang beliau perintahkan semampu kita, meninggalkan semua laranganNya, dan kita tidak boleh beribadah kecuali dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Faedah Hadits

Pertama: Syarat diterimanya amalan itu ada dua yaitu ikhlas dan ittiba’ (mengikuti tuntunan). Syarat ikhlas ini yang dibahas dalam hadits pertama dalam Al-Arba’in An-Nawawiyah “innamal a’maalu bin niyaat”. Sedangkan ittiba’ ini yang dibahas dalam hadits kali ini. Hadits “innamal a’maalu bin niyaat” adalah timbangan untuk amalan batin, sedangkan hadits nomor lima kali ini adalah timbangan untuk amalan lahiriyah.

Kedua: Mengamalkan amalan yang tidak ada tuntunannya, maka amalan tersebut mardudun (tertolak), tidak diterima di sisi Allah.

Ketiga: Kalimat “man ahdatsa” berarti mengadakan amalan yang baru dalam agama. Kalimat “fii amrinaa” bermakna dalam agama.

Keempat: Dari dalil ini dapat disimpulkan bahwa semua bid’ah itu madzmumah (tercela), tidak diterima di sisi Allah. Sehingga pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah atau membaginya menjadi lima sesuai dengan hukum taklif (wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah) tidaklah tepat. Ditambah lagi dalam hadits disebutkan celaan pada setiap macam bid’ah di mana disebut “kullu bid’atin dholalah”, setiap bid’ah itu sesat. Kata “kullu” di sini maknanya umum, artinya semua bid’ah itu tercela.

Kelima: Amalan bid’ah itu ada beberapa macam:

  1. ada yang bid’ahnya pada pokok amalan artinya ia mengamalkan amalan yang asalnya tidak ada tuntunan, maka amalan tersebut tidak diterima;
  2. ada yang bid’ahnya pada tambahan namun amalan pokoknya tetap disyari’atkan, maka amalan tambahan ini tertolak, adapun amalan pokoknya diterima jika memang tidak dirusak dengan amalan tambahan;
  3. pokok amalan asalnya ada tuntunan, namun seseorang mengerjakannya menyelisihi ketentuan syari’at, amalan tersebut tidak diterima; seperti berpuasa dari berbicara, maka tidak ada tuntunan;
  4. sudah sesuai dengan ketentuan pokok syari’at dan caranya, namun jumlahnya yang berbeda dengan ketentuan; seperti mengamalkan dzikir pagi petang dibaca seribu kali untuk bacaan istighfar, maka ini menyelisihi ketentuan;
  5. amalannya disyari’atkan namun menyelisihi dalam hal mengistimewakan hari dan tempat, seperti berpuasa pada hari Selasa karena dianggap sebagai hari lahirnya, maka amalan tersebut tidak diterima.

Keenam: Jika ada yang melakukan ibadah dengan cara yang terlarang yang tidak disyari’atkan apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak, perlu dirinci:
  1. jika larangan yang dilakukan di luar dari ibadah seperti berhaji dengan harta haram atau berwudhu dari bejana yang terbuat dari emas, ibadahnya sah, namun berdosa karena melakukan yang haram;
  2. jika larangan tersebut mausk dalam ibadah, misalnya shalat di rumah hasil rampasan, maka yang dilakukan adalah perbuatan yang haram dan pelakunya berdosa. Namun jumhur ulama menyatakan tetap mendapatkan pahala. Sedangkan Imam Ahmad menganggap shalatnya tidaklah sah.

Dampak Buruk Bid’ah

Pertama: Bid’ah semakin menjauhkan pelakunya dari Allah
Ayyub As-Sikhtiyani -salah seorang tokoh tabi’in- berkata,

مَا ازْدَادَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ اِجْتِهَاداً، إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْداً

“Semakin giat pelaku bid’ah dalam beribadah, semakin jauh pula ia dari Allah.” (Hilyah Al-Auliya’, 1:392)

Apa yang dikatakan oleh tokoh tabi’in di atas, kebenarannya didukung oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyifati orang-orang Khawarij,

يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

“Akan muncul di antara kalian suatu kaum yang kalian akan meremehkan shalat kalian (para sahabat), puasa kalian, dan amal kalian di samping shalat mereka, puasa mereka, dan amal mereka. Mereka rajin membaca Al Qur’an akan tetapi (pengaruhnya) tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah yang keluar menembus sasarannya.” (HR. Bukhari, no. 5058, 6931; Muslim, no. 1064)

Perhatikan, bagaimana mulanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati mereka sebagai kaum yang amat giat beribadah, lalu menjelaskan betapa jauhnya mereka dari Allah.

Kedua: Pelaku bid’ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’” (HR. Bukhari, no. 7049, dari Abu Wail, dari ‘Abdullah)

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari, no. 7051)

Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat bid’ah.

Ketiga: Pelaku bid’ah tidak akan mendapatkan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dalam hadits disebutkan,

أَلَا وَإِنَّ أَوَّلَ الْخَلَائِقِ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام أَلَا وَإِنَّهُ سَيُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Sesungguhnya manusia pertama yang diberi pakaian pada hari kiamat ialah Ibrahim ‘alaihis salam. Ingatlah, bahwa nanti akan ada sekelompok umatku yang dihalau ke sebelah kiri… maka kutanyakan: “Ya Rabbi… mereka adalah sahabatku?”, akan tetapi jawabannya ialah: “Kamu tidak tahu akan apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu…” (HR. Bukhari, no. 6526, 4625, 4626, 4740, 3349; Muslim, no. 2860, dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas)

Demikian pembahasan hadits tentang tentang perkara bid'ah bagi umat islam. Semoga bermanfaat.

sumber: radiorodja.com, rumaysho.com


0Comments

Artikel Terkini

© Copyright - Guru Madrasah - All Rights Reserved - Made with
Added Successfully

Type above and press Enter to search.